Mobirise Website Builder

Bukan Bengkel Sepeda Biasa, Ini Tempat Anak Muda Dulang Cuan Sambil Nongkrong

Andre - 20 Jun 2024

House of The Rising Sun bukan bengkel sepeda biasa. Selain menjual sepeda impor dan menyediakan jasa reparasi, ia menjadi hub alias titik temu berbagai komunitas sepeda. Sebuah contoh nyata dari peribahasa 'banyak berteman banyak rezeki'.


Matahari sudah tenggelam di ufuk barat ketika tiga sekawan melangkah perlahan melewati Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan. Setelah 15 menit berjalan, dengan nafas sedikit termegap-megap, Rizka, Indra, dan Tata akhirnya tiba di depan sebuah bengkel sepeda.


Namun ada yang tidak biasa, jika bengkel maupun toko sepeda terletak di dalam ruko, toko berjenama House of The Rising Sun (HOTRS) ini justru berbentuk rumah atau paviliun kecil. Selain menyediakan jasa reparasi, bengkel tersebut menjual sepeda impor dan cenderamata (merchandise) yang menarik mata, mulai dari kaos, sepatu, sampai tumbler.


"Lucu banget," ucap Indra sembari berkeliling dan memotret sejumlah rangka sepeda yang tertempel di dinding.


"Iya, aku beberapa kali servis sepeda sambil nongkrong di sini. Enak, kan?" beber Tata.


Kepada detikcom pada Jumat malam (27/1/2024), tiga founder dan owner HOTRS, bersedia meluangkan waktu untuk berbagi kisah tentang usaha mereka. Ketiganya adalah Gibran, Mamat, dan Ditto. Satu founder lain, yakni Golo berhalangan hadir.


Mamat awalnya berkisah, bahwa HOTRS berdiri pada masa pandemi Covid-19, tepatnya sejak November 2020. HOTRS berdiri karena empat sekawan itu memiliki cita-cita untuk mempunyai sebuah toko yang tidak hanya mendulang cuan, tapi menjadi tempat bagi semua pesepeda untuk berkawan.


Gibran, Mamat, Ditto, dan Golo sudah hobi bersepeda sejak 2010. Kala itu, sebuah sepeda dengan sistem penggerak yang hanya memiliki satu gir tetap pada roda belakang alias fixed gear, ramai digunakan anak muda. 


Musababnya, sejumlah film seperti Premium Rush (2012) dan To Live & Ride in L.A. (2010) muncul di permukaan. Film itu mengisahkan tentang kehidupan kurir sepeda (messenger bike) yang berjibaku di jalan raya menggunakan fixed gear yang notabene tak memiliki rem. Manuver para kurir di jalan raya memacu adrenalin mereka yang menontonnya.


"Di Indonesia, tren fixed gear itu masuk lewat sejumlah anak muda yang sempat berkuliah atau bekerja di luar negeri. Nah, karena dulu tidak ada parts-nya dulu kita semua merakit sendiri. Sampai akhirnya muncul berbagai toko sepeda yang menjual sepeda fixie, wah itu booming banget," tutur Mamat.


Mamat sempat bekerja di sebuah toko sepeda bernama Rocket Company di Kawasan SCBD, Jakarta Pusat. Namun, karena perubahan tren yang sangat cepat, tren fixed gear lambat laun meredup. Berbagai toko sepeda yang sempat menjamur satu per satu tutup.


"Gue waktu itu berpikir, di mana ya salahnya? Padahal tren itu tetap ada, kok langsung tutup semua. Momentum kelesuan fixie itu membuat gue dan teman-teman berpikir, suatu hari kita harus mencari cara agar bisa menjaga permintaan kalau punya toko sepeda. Harus bisa," sambung Gibran.


Tren bersepeda pun meroket lagi saat pandemi Covid-19, tak ayal, momen ini dimanfaatkan oleh Gibran dan kawan-kawan. Karena memiliki banyak waktu senggang, mereka makin sering berkumpul untuk mendiskusikan cita-cita mereka yakni mempunyai toko sepeda sendiri. Konsepnya bakal seperti King Kog Shop di Brooklyn, Amerika Serikat, toko itu memiliki nuansa your friendly neighborhood bike shop.


Setelah beberapa kali berkumpul, HOTRS diputuskan dibuka pada November 2020. Namun, lokasi toko belum diketahui. Gibran dan Mamat ditugaskan untuk mencari lokasi yang paling tepat untuk membuka toko tersebut. Sejumlah tempat di Panglima Polim dipertimbangkan, wilayah tersebut dinilai mudah diakses dan nyaman untuk bersepeda. Satu lokasi pun sempat dipilih sebagai tempat toko, namun usut punya usut, lahan ternyata sedang dalam proses sengketa.


"Untung waktu itu belum bayar, tempatnya lagi ada sengketa. Terus waktu sepedaan malam-malam lewatin daerah yang tidak pernah kita lewatin, ketemu deh toko ini. Nah kebetulan waktu itu Coffee Shop di sebelah, yakni 7 Speed, juga lagi nyari tempat. Ditawarin sama makelarnya. Jadi bareng deh, meski berbeda entitas," ucap Mamat.


Gibran kemudian mengatakan bahwa lokasi tersebut terbukti menguntungkan bagi HOTRS. Banyak masyarakat, dari anak muda sampai emak-emak, yang datang ke toko mereka. Para pengunjung pun tidak selalu mereka yang sudah lama bersepeda, namun banyak juga masyarakat yang baru tertarik mendalami aktivitas tersebut.


Di masa-masa awal HOTRS, Gibran mengingat jumlah pengunjung sangat banyak. Ia, Mamat, Ditto, dan Golo harus berganti-gantian menjaga dan memperbaiki sepeda milik pelanggan yang datang ke toko. Jumlahnya bisa puluhan orang dalam sehari.


Meski membawa berkat, namun Mamat mengatakan pandemi Covid-19 juga membawa tantangan tersendiri. Di tengah meningkatnya minat masyarakat untuk bersepeda, jumlah stok barang atau produk parts sepeda terbatas di pasaran. Berbagai barang impor terhambat masuk ke Indonesia, termasuk sepeda. Harganya naik gila-gilaan. Salah satu contohnya adalah sepeda Brompton yang harganya bisa mencapai ratusan juta.


Namun, Mamat mengatakan pihaknya saat itu tidak ingin terlalu greedy alias memanfaatkan harga sepeda yang meroket. HOTRS sebisa mungkin menjual sepeda impor yang harganya tidak jauh berbeda di website resminya.


"Semua harga barang digoreng waktu pandemi. Brompton pasaran harga second-nya puluhan juta itu jadi ratusan juta. Semisal satu sepeda di website harganya US$ 1.000 (Rp 15.775.000‬ dalam kurs Rp 15.775) tambah ongkos kirim dan pajak jadinya Rp 18 juta, gue kalau bisa jualan berkisar di harga itu. Gue justru pengin menjual itu dengan harga reasonable. Karena kita pernah punya pengalaman susahnya membeli sepeda dengan harga tidak masuk akal," beber pria yang bekerja di sektor keuangan tersebut.


Dengan konsep ini, Gibran kemudian membenarkan jika jumlah customer justru meningkat ke tokonya. Untuk segmen sepeda impor, HOTRS menjadi salah satu toko yang dikenal menjual harga sepeda dengan nilai masuk akal. Namun tidak hanya barang baru. HOTRS juga menjual sepeda maupun parts sepeda second yang diincar kolektor di pasar.


"Kita juga menjual barang yang kita paham. Apa yang kita mainkan, apa yang tahu, kita masukkan. Kita tahu porsi dan segmen market yang kita incar sendiri. Kita juga mewadahi masyarakat yang ingin merek tertentu masuk ke Indonesia, contohnya Soma, Rivendell, Simworks, dan Velocity," katanya.


Dari segi bisnis, Ditto kemudian mengatakan pada masa awal, pihaknya mengusung strategi 40% pengadaan produk impor, 30% produk in-house atau yang diproduksi sendiri, dan 30% dari aspek reparasi. Namun kini, strategi tersebut berubah menjadi 40% untuk reparasi, 30% untuk pengadaan produk impor dan 30% produk in-house. Menurutnya strategi pemasaran selalu berubah-buah mengingat dalam bisnis, situasi pasar pada hakikatnya fleksibel.


"Tidak ada rumus baku untuk melihat permintaan pasar. Jadi, yang bisa dilakukan HOTRS adalah menyesuaikan. Kalau dulu ramai pembelian produk secara online saat pandemi, mungkin sekarang lebih ke offline dengan experiencenya di toko," imbuhnya.


Pembeli barang HOTRS, ucap Ditto, berasal dari berbagai daerah. Mulai dari wilayah Jabodetabek sampai Papua.


"Merchandise itu ada yang beli dari Papua, kami kaget juga bisa sampai ke sana. Sementara buat frame sepeda, mayoritas masih di Pulau Jawa seperti Surabaya," tuturnya.


Mamat kemudian menjelaskan bahwa HOTRS juga mencoba untuk mengedukasi pelanggan. Bagi pesepeda, semua barang tidak perlu harus baru atau baru keluar dari pabrik. Pesepeda juga bisa menggunakan parts preloved atau second. Walhasil bagi setiap customer yang datang ke Toko, pihaknya selalu meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan customer.


Gibran lalu menambahkan, ujung tombak dari HOTRS adalah menempatkan para mekanik di pintu depan toko. Konsep ini diharapkan dapat membuat customer melihat langsung sepeda mereka diutak-atik, sehingga pelanggan juga paham bagian sepeda apa yang sedang diperbaiki oleh mekanik.


"Kita mencoba menghadirkan experience. Mungkin, kalau di toko lain, mekanik biasanya ditaruh di belakang dan penjaga kasir tidak paham soal rincian produk. Nah di sini beda, kami mau membuat kesan, kalau perlu penjelasan apapun boleh ke HOTRS. Prinsipnya bukan sebatas kewajiban melayani atau transaksional, tapi juga sebagai teman," ungkapnya.


"Lagipula, setiap sepeda itu prinsipnya unik atau personalized. Semua orang, anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, punya jenis dan tipe sepeda yang cocok buat mereka. Ini yang coba kami edukasikan," sambungnya.


Di sisi lain, berangkat dari tutupnya berbagai toko sepeda pasca era fixed gear, Gibran menuturkan pihaknya berupaya melakukan brand activation atau promosi dengan pengalaman nyata. Sederhananya, HOTRS melakukan brand activation dengan cara rutin melakukan berbagai kegiatan yang menarik bagi pelanggan maupun komunitas agar datang ke toko.


Aktivitas pun tidak harus selalu berkaitan dengan sepeda. Sejumlah event yang digelar HOTRS tercatat jauh dari kata tersebut. Contohnya, acara DJ-set yang menghadirkan sejumlah penampil, lomba ping-pong, hingga acara potong rambut. Satu agenda yakni Pangpolooza preloved swap meet, bahkan memberi ruang bagi komunitas sepeda untuk menjajal berbagai barang pribadi mereka. Lewat brand activation, HOTRS pun menciptakan brand awareness kepada pelanggan dan komunitas.


"Tren sepeda itu ada siklus lambat laun meredup baru ramai kembali dan ini keniscayaan. Tapi, kami juga pengin membuat agar bersepeda itu jadi gaya hidup. Jadi bagi kami, HOTRS diharapkan bukan cuma toko tapi juga jadi tempat berkumpul atau community hub," jelas desainer grafis ini.


Upaya HOTRS untuk menjalin silaturahmi dengan komunitas pun terbukti berhasil. HOTRS sering diajak untuk berkolaborasi dengan berbagai brand. Di antaranya seperti Bike to Synchronize yang dilakukan bersama Synchronize Festival, pembuatan merchandise artist series bersama desainer grafis, Abenk Alter, serta musisi Sir Dandy, hingga membuat tumbler sepeda bersama Lawless Jakarta.


"Yang datang buat memperbaiki sepeda ternyata bisa juga menjadi rekan bisnis. Nah, gue baru sadar ternyata hal ini bisa juga terjadi. Makanya penting buat menjalin silaturahmi. Satu toko sepeda besar bahkan mengirim tim buat studi banding ke tempat kami," pesannya.


Sebagai informasi, berbagai produk yang dihadirkan oleh House of The Rising Sun bisa diakses di e-commerce. Sejumlah di antaranya adalah baju Rp 290.000, topi Rp 150.000, dan berbagai parts sepeda. HOTRS pun menjual sepeda impor jadi salah satunya adalah Alan Gitane Full Bike - Size 48" yang dijual dengan harga Rp14.500.000. Sementara di toko, HOTRS menyediakan jasa reparasi dan cuci sepeda di angka Rp 150 ribu untuk standard service dan Rp 300 ribu untuk full service.

© Copyright 2025 Nusa Bengkulu - All Rights Reserved